Jembawan (12/5). Siang itu di aula PKBI Jateng, suasana santai dan penuh canda tapi sangat sarat dengan makna. Kali ini PKBI Jawa Tengah mengundang Pengurus Pertuni (Persatuan tuna netra Indonesia) Jawa Tengah untuk berbagi pengalamannya sebagai penyandang disabilitas dalam sebuah acara yang bertajuk Share and Care: Disabilitas dan Kesehatan Reproduksi.
Acara yang dihadiri oleh kurang lebih 40 peserta yang terdiri dari karyawan, relawan dan anggota peer educator ini diharapkan dapat memberikan pencerahan kepada peserta agar mereka mengerti apa saja yang dialami para penyandang disabilitas dalam kehidupan sehari-hari. Harapannya, melalui sharing ini, karyawan dan relawan PKBI Jawa Tengah lebih bisa menghargai, memahami, dan mengerti kebutuhan mereka. Sehingga tidak menjadi pelaku diskriminasi.
Terdapat lima pengurus Pertuni yang hadir dan berbagi pada kesempatan tersebut yaitu Pak Eddy (Ketua Pertuni), Pak Suryandaru, Mas Indra, Mas Ari dan Mbak Eka Pratiwi. Kebetulan kelimanya mengalami disabilitas ketika sudah menginjak remaja karena berbagai latar belakang seperti kecelakaan, salah obat maupun mengalami low vision sejak kecil. Hebatnya, kelimanya telah mengenyam pendidikan perguruan tinggi. Bahkan ada yang lulus dengan predikat cumlaude. Ada pula yang telah pergi ke berbagai benua baik mewakili Pertuni maupun kegiatan lainnya. Tentunya capaian tersebut bukanlah hal yang dengan mudah begitu saja mereka peroleh, tetapi dengan perjuangan yang panjang.
Pak Eddy, Ketua Pertuni, bercerita bahwa tahun 1998 di usia 18 tahun, dua hari menjelang ujian masuk perguruan tinggi dirinya mengalami kecelakaan sepeda motor yang parah, hingga otaknya harus dioperasi. Dampaknya dia harus mengalami kebutaan di kedua matanya, telinga kanannya tidak dapat mendengar dan hidungnya tidak bisa membaui. Dia sangat terpukul waktu itu, namun berkat dukungan keluarganya yang begitu besar maka dia berusaha bangkit. Bukan hal yang mudah, namun akhirnya dia bersyukur karena dua tahun kemudian diterima di Fakultas Hukum Undip Semarang.
Proses kuliah mengandalkan rekaman dan karena waktu itu belum ada komputer, maka ujiannya pun menggunakan mesin tik, jadi kemana-mana dia menenteng mesin tik. Enam tahun berhasil menyelesaikan studi dan saat ini bekerja sebagai telemarketing di sebuah lembaga pengembangan SDM. Bersyukur pula dia dikaruniai seorang istri dan tiga orang anak yang semuanya awas. Demikian sharingnya sambil memberikan semangat kepada para peserta.
Sedangkan Pak Suryandaru yang pada usia dua tahun mengalami iritasi mata, oleh dokter diberi obat yang dampaknya sangat buruk bagi penglihatannya, hingga pada usia belasan akhirnya tidak dapat melihat sama sekali. Dia menuturkan bahwa Tuhan tidak pernah salah dalam menciptakan umatnya. Bahwa kendala tidak dapat melihat bukanlah cacat yang sering di identikkan sebagai sesuatu yang buruk, tetapi lebih tepatnya mengalami mal fungsi.
Nah, disabilitas, adalah sebuah kondisi dimana seseorang mengalami mal fungsi, sehingga dia mengalami kesulitan mengakses lingkungan di masyarakat yang menganut asas kesetaraan. Hal ini tidak hanya dialami oleh tunanetra saja tetapi juga mereka yang tak mampu bicara, tidak mampu berdiri, berjalan, mendengar, maupun lainnya. Bila suatu saat hambatan akses sudah tidak ada lagi maka disabilitas itu tidak ada. Oleh karenanya saat ini yang dibutukan adalah kemudahan akses, tuturnya.
Dicontohkan pula berbagai hambatan yang dialaminya sebagai penyandang disabilitas diantaranya tidak diperbolehkan memiliki rekening bank dengan alasan tanda tangannya tidak konsisten. Setiap kali naik pesawat, harus menandatangani surat keterangan sakit, sehingga konsekuensinya bila terjadi kecelakaan maka tidak akan diberi ganti rugi dengan asumsi bahwa penumpang tersebut memang tidak mampu menyelamatkan diri. Pernah pula ada anggota Pertuni yang batal diterima sebagai PNS karena tunanetra. Batasan usia penerimaan CPNS juga diskriminasi bagi penyandang tunanetra, karena pada umumnya tuna netra membutuhkan waktu belajar yang lebih lama daripada mereka yang awas.
Terkait layanan kesehatan, Pak Daru juga mempunyai pengalaman yang kurang menyenangkan ketika periksa gigi. Dokter yang melayani nampaknya bingung dan kikuk sehingga isntruksi yang diberikan kurang jelas, wal hasil Pak Daru menabrak beberapa peralatan di ruang periksa. Belum lagi ketika berbicara jalan dan transportasi. “Di beberapa jalan trotoar di Kota Semarang sudah mulai dipasang guiding pad, tetapi apa yang terjadi, ada pula guiding pad yang diujungnya ada pohonnya, terpotong lintasan mobil, ada pula yang memang sengaja di pasang melingkari pohon untuk hiasan” paparnya sambil tertawa.
Acara yang berlangsung kurang lebih 2,5 jam ini diikuti oleh peserta dengan antusias, terlihat dari jumlah penanya yang lumayan banyak. Tentunya semua pertanyaan dijawab dengan santai dan mengena oleh kawan-kawan Pertuni.
Penandatanganan MoU
Pada akhir kegiatan, dilakukan penandatanganan MoU antara PKBI Jawa Tengah dengan PD Pertuni Jawa Tengah. MoU yang berlaku hingga dua tahun kedepan, merupakan penanda bahwa kedua belah pihak mempunyai komitmen untuk bersama-sama saling mendukung dalam upaya pemenuhan hak kesehatan reproduksi kepada semua orang, termasuk mereka yang mengalami disabilitas.
Seperti yang pernah dimuat pada Jembawan 8 edisi sebelumnya, bahwa para anggota pertuni saat ini masih minim akses informasi dan layanan kesehatan reproduksi dan seksual. Sementara mereka sendiri mengakui bahwa mereka sangat membutuhkan informasi tersebut. Oleh karenanya, mereka berupaya untuk melakukan pemenuhan hak-hak anggotanya. Beberapa kegiatan telah mereka lakukan diantaranya FGD kesehatan reproduksi, sosialisasi dan pelatihan yang difasilitasi oleh ICOM dan PKBI Jateng. Kedepan kegiatan-kegiatan untuk pemberian informasi akan dilakukan bersama PKBI Jawa Tengah. Sukses untuk Pertuni Jawa Tengah.** [lisa]