UU Nomor 35 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak, mendefinisikan anak sebagai individu yang belum berusia 18 tahun. 10 hak anak, yang disepakati dalam Konvensi Hak Anak, seperti Hak mendapat pendidikan, Hak mendapatkan akses kesehatan, Hak atas perlindungan praktis harus dimiliki anak hingga ia berusia 18 tahun. Negara, dalam berbagai komitmennya untuk melindungi Anak dari tidak terpenuhinya hak anak, hingga kekerasan yang dialaminya, dirasa masih belum konsisten. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terutama pasal 7 ayat 1 mengenai batas usia perkawinan. UU yang sudah berusia 41 tahun ini, menyepakati batas usia perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun, dapat disimpulkan bahwa negara melegalkan adanya perkawinan anak.
Hal ini menarik keprihatinan dari banyak pihak, sehingga membuat aktivis, praktisi, Lembaga Swadaya Masyarakat termasuk PKBI, mengajukan Judicial Review terhadap UU No 1 tahun 1974. Dalam pembacaan putusan, kekecewaan mendalam dirasakan saat delapan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI menolak seluruh permohonan mengenai batas usia bagi anak perempuan dalam UU perkawinan yang dilakukan pada Kamis, 18 Juni 2015 di sidang terbuka Mahkamah Konstitusi. Hanya satu Hakim perempuan di MK yakni Maria Farida Indrati yang memberikan dissenting opinion atau opini yang berbeda atas Putusan tersebut.
Menurut MK, berdasarkan asas perkawinan, tidak dikenal batasan umur perkawinan demi mencegah dorongan birahi, untuk itu dorongan birahi semestinya dapat disalurkan melalui perkawinan yang sah berdasarkan ajaran agama sehingga tidak melahirkan anak diluar perkawinan atau anak haram. Dengan kata lain MK mengabaikan fakta-fakta mengenai perkawinan anak, bahwa sebagian besar perkawinan anak menyumbang angka kematian Ibu, berpotensi terjadinya KDRT, hingga tidak terpenuhinya hak pendidikan anak untuk wajib belajar 12 tahun. MK melupa, bahwa pernikahan tidak hanya menuruti dorongan birahi. Ada pendidikan Kesehatan Reproduksi yang diperlukan secara komprehensif, untuk bekal anak memaknai dengan bijak “dorongan birahi” itu sendiri.
Dengan penolakan Mahkamah Konstitusi tersebut maka situasi hukum Indonesia terkait perkawinan anak mengalami status quo. Langkah untuk melindungi hak anak perempuan tentu tidak terhenti sampai disini. Bersama-sama, kami mendesak pemerintah untuk melakukan langkah-langkah pencegahan perkawinan anak dengan melakukan reformasi hukum (merumuskan hukum baru atau menyegerakan amademen UU Perkawinan No. 1/1974), dan berbagai kebijakan sosial yang penting. Kami juga mengajak seluruh insan hukum dan warga masyarakat luas agar mengoptimalkan upaya perlindungan terhadap anak perempuan dan peka terhadap bahaya yang mengancam keselamatan anak perempuan di komunitasnya sendiri maupun masyarakat luas.**[Dania]