Berawal dari kepedulian dengan bertambahnya jumlah anak yang terinfeksi dan terdampak HIV-AIDS seiring meningkatnya kasus HIV-AIDS di Jawa Tengah, Asa PKBI Jawa Tengah dengan dukungan Terre des Hommes Netherland melakukan penelitian “Analisis Situasi Anak Terinfeksi dan Terdampak HIV-AIDS di Jawa Tengah”. Versi populer dari hasil penelitian pada tahun 2010 tersebut kemudian dituliskan dalam sebuah buku berjudul “Wajah-Wajah yang Terlupakan (Missing Faces) “.
Meningkatnya kasus HIV-AIDS di Jawa Tengah menempatkan anak pada posisi rentan, menjadi terinfeksi HIV atau menghadapi berbagai persoalan sosial, akibat status HIV-AIDS orang tuanya. Pada titik tertentu, dapat terjadi pelanggaran hak-hak dasar anak, seperti terbatasnya akses pendidikan dan terkucilkan secara sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai terpenuhi atau tidaknya hak anak yang terinfeksi dan terdampak HIV-AIDS di Jawa Tengah, dalam konteks kondisi kesehatan fisik, psikologis, dan sosialnya. Ketersediaan fakta dan data dapat menjadi masukan dalam pengembangan program penanggulangan HIV-AIDS yang berfokus pada anak di Jawa Tengah.
Penelitian dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama bersifat deskriptif-kuantitatif dengan responden 201 anak berusia di bawah 18 tahun yang terinfeksi dan terdampak HIV-AIDS di Jawa Tengah. Penelitian tahap kedua menggunakan pendekatan eksploratif kualitatif untuk mengetahui faktor-faktor yang terkait dengan situasi anak terinfeksi dan terdampak HIV serta menemukan gambaran program dan pendampingan yang dibutuhkan. penelitian dilakukan di Kota Semarang, Kabupaten Jepara, dan Kabupaten Grobogan dengan pertimbangan besaran kasus anak terinfeksi dan terdampak HIV-AIDS dibandingkan kota dan kabupaten lain di Jawa Tengah.
Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan guru di Kabupaten Jepara dan Kabupaten Grobogan rendah. Beberapa guru menyebutkan HIV-AIDS sebagai hilangnya kekebalan tubuh. Mengenai cara penularan HIV, kebanyakan guru menyebutkan melalui seks bebas, hubungan yang menyimpang, dan narkoba. Pengetahuan mengenai HIV-AIDS tampak memiliki peran sentral dalam pembentukan sikap masyarakat terhadap orang serta anak terinfeksi dan terdampak HIV. Sementara itu sebagian besar orang tua dan wali tidak mau membuka statusnya karena takut dikucilkan masyarakat. Tindakan tidak membuka status dilakukan karena kekhawatiran terjadi penolakan masyarakat terhadap anak.
Persoalan yang dihadapi anak terinfeksi dan terdampak HIV bukanlah persoalan tunggal yang hanya bermuara pada diri mereka sendiri, melainkan berada dalam bingkai berbagai sistem sosial yang ada, yang mengarahkan, membentuk, bahkan sebagian lain nilai yang mengucilkan atau mengasingkan dari kehidupan sosial. Prasangka pada akhirnya melahirkan stigmatik dan diskriminatif.
Pemerintah memiliki program terkait dengan HIV dan anggaran dananya diintegrasikan dengan program-program dinas terkait dengan fokus pencegahan. Sasaran program adalah kelompok risiko tinggi seperti pekerja seks dan pengguna narkoba. Anak terinfeksi dan terdampak HIV tidak termasuk dalam kategori kelompok risiko tinggi, sehingga tidak tercakup dalam program HIV pemerintah kota dan kabupaten.
Dalam peta sikap stigmatik dan tindakan diskriminatif, serta dalam ketidakpedulian multistakeholder, masa depan anak-anak terinfeksi dan terdampak HIV digaransikan. Ini bukan persoalan remeh karena ribuan anak bangsa akan hilang. Mungkin sebagian besar dari kita hendak melupakan wajah-wajah tak berdosa ini dari pikiran kita, tetapi tidak akan pernah bisa dilakukan karena hilangnya mereka disebabkan sikap stigmatik dan diskriminatif yang kita lakukan. (RP)