Barangkali masih ingat peristiwa beberapa bulan yang lalu (29/4), mahasiswi (20 th) di Jogja ditemukan meninggal di kamar kost bersama bayi yang masih berlumur darah setelah melahirkan tanpa pendampingan. Sebulan sebelumnya (27/3) peristiwa serupa juga terjadi di Kendal, perempuan (25 th) ditemukan meninggal dengan bayi yang masih di selangkangan. Kedua perempuan tersebut diketahui ketika sudah mulai membusuk. Sungguh merupakan keprihatinan yang mendalam.
Mengapa hal demikian dapat terjadi? Bisa jadi keduanya adalah perempuan tidak menikah, barangkali takut untuk menyampaikan kondisinya kepada keluarganya, atau sudah menyampaikan tetapi mendapat penolakan. Pasangan yang menghamili tidak bertanggungjawab, malu mendapat stigma, tidak punya dana untuk berobat dan berbagai kondisi lainnya yang mungkin terjadi. Bila ada kepedulian dari lingkungannya, barangkali ceritanya akan menjadi berbeda.
Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD)
Kehamilan tidak dikehendaki (KTD) memang dapat menimpa semua perempuan, termasuk mereka yang masih remaja dan belum menikah. Tidak ada angka yang pasti yang mencatat seberapa besar KTD di kalangan remaja. Hanya saja sejak tahun 2010-2014, setiap tahun Youth Center PILAR PKBI Jawa Tengah mencatat antara 65-85 kasus yang berkonsultasi dengan keluhan KTD. Sebagian besar kasus yang datang adalah siswa SLTA dengan usia antara 15-18 tahun.
Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya KTD dikalangan remaja. Secara personal remaja memang merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Kadangkala pertumbuhan fisik lebih cepat dibanding dengan kematangan psikologi maupun sosial. Dalam situasi ini remaja sedang berusaha mencari jati diri. Rasa ingin tahu yang besar, menjadikan remaja sering melakukan coba-coba. Kadang remaja perempuan terjebak oleh berbagai rayuan bahwa hubungan seks adalah pembuktian cinta. Ini kerap terjadi terutama pada remaja yang usia pacarnya lebih dewasa. Oleh karenanya remaja perlu dibekali dengan kemampuan untuk berkata “Tidak” untuk hal-hal yang berisiko sehingga mampu melindungi dirinya.
Pengetahuan yang minim tentang kesehatan reproduksi, juga menjadikan remaja meyakini berbagai mitos yang keliru, misalnya perempuan tidak akan hamil bila hanya sekali melakukan hubungan seks, bahwa makan nanas atau minuman bersoda dapat mencegah kehamilan dan lain sebagainya.
Faktor sosial, khususnya teman sepergaulan dapat pula mempengaruhi permisifitas seseorang, yaitu pandangan mengenai batasan aktivitas apa yang diperbolehkan atau tidak boleh dilakukan dalam berpacaran. Seseorang yang mempunyai anggota keluarga atau teman dekat yang pernah melakukan hubungan seks pranikah atau mengalami KTD akan mempunyai kecenderungan lebih permisif.
Di sisi lain baik orang tua maupun guru masih banyak yang merasa tabu dan canggung untuk membincangkan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada anaknya. Banyak sekolah yang belum menerapkan pendidikan kesehatan reproduksi bagi siswa didiknya. Hal ini menjadikan remaja mencari informasi sendiri dari berbagai sumber yang kadang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Bukanlah akhir segalanya
KTD remaja memang memprihatinkan, dan kita pun harus berupaya semaksimal mungkin untuk mencegahnya. Namun ketika kehamilan sudah terjadi, itu pun bukan akhir dari segalanya. Banyak cerita remaja yang akhirnya dapat bangkit dari kegagalannya dan memulai hidup baru yang lebih baik. Tentunya peran orang-orang terdekatlah yang menjadikan korban KTD menjadi lebih kuat.
Sebut saja salah satu kasus yang menimpa Putri (bukan nama sebenarnya) remaja usia 13 tahun, masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Remaja cantik, lincah dan ramah itu termasuk siswa berprestasi di sekolahnya. Suatu ketika, di hari pertama lebaran, dengan sangat ketakutan dan penuh rasa bersalah dia meminta maaf kepada orang tuanya dan mengaku bahwa dirinya hamil. Bagai disambar petir, kedua orang tuanya yang kebetulan dosen di perguruan tinggi terkenal sangat syok mendengar pengakuan putri sulungnya. Salah apa yang telah diperbuat sehingga anak gadisnya mengalami hal tersebut? Tanyanya sebagai ungkapan denial. Campur aduk antara marah, kasihan dan merasa bersalah sulit untuk digambarkan.
Ditengah keterpurukan itu si ibu memeluk sang putri, marah memang tetapi rasa kasihnya melebihi kemarahannya, dia berusaha menerima segala situasi. Bagaimanapun permasalahan anak adalah permasalahan keluarganya. Kesalahan anak juga bagian dari kesalahannya. Dengan proses yang berat mereka berusaha menerima dan mencari solusi.
Hasil pemeriksaan medis ternyata usia kehamilan Putri sudah 6 bulan dan sehat. Tidak dapat dibayangkan, betapa di usianya yang belia dia sudah memendam persoalan dan mengalami pergulatan batin sekian lama, sendiri. Entah apa saja yang sudah dilakukan selama enam bulan terakhir yang membuatnya kuat untuk bertahan.
Penerimaan keluarga, itulah yang menyelamatkan anak itu. Atas saran seorang konselor, akhirnya Putri dikirim ke sebuah shelter, tempat penampungan remaja yang mengalami KTD. Disitu dia bersembunyi selama kehamilan hingga melahirkan. Usia yang masih belia, tidak memungkinkan dia melahirkan normal, akhirnya operasi caecar dia jalani. Ada beberapa pilihan setelah bayinya lahir, seperti diadopsi, bayi dititipkan sementara sampai usia tertentu dimana ibunya sudah sanggup merawat, atau bayi dibawa pulang. Dalam kasus ini, akirnya bayi diadopsi oleh ibu Putri, dan statusnya berubah menjadi adiknya.
Putri pun akhirnya diikutkan home schooling dan mengikuti ujian kejar paket, hingga mendapat ijazah SMP. Disitulah kehidupan baru dimulai, Putri akhirnya dapat melanjutkan ke SLTA dan kuliah serta bangkit dari kegagalan. Lantas dimana laki-laki yang menghamili? Keluarga Putri tidak mengambil pusing terhadap laki-laki yang tidak bertanggungjawab tersebut, baginya yang lebih penting adalah anak kesayangannya tetap terselamatkan.
Cegah Aborsi Tidak Aman
Yang perlu diperhatikan pula, bila perempuan mengalami KTD adalah perlunya pendampingan sehingga dia tidak mengakses layanan aborsi tidak aman (unsafe abortion). Berdasarkan pengakuan beberapa remaja yang mengalami KTD, sebelum datang ke klinik ada yang sudah membeli obat secara online yang tidak jelas sumbernya, pun isinya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ada pula yang minum jamu tertentu yang diyakini dapat menggugurkan kandungan. Hal ini tentu berisiko dan dapat berdampak pada kematian.
Berbagai mitos juga muncul di masyarakat tentang cara-cara pengguguran kandungan misalnya minum minuman bersoda, loncat-loncat, makan makanan tertentu, bahkan ada pula remaja yang mengaku diajak melakukan hubungan seks berulang oleh pacarnya dengan harapan agar janinnya mengalami keguguran. Hal ini tentu tidak benar dan tidak diajurkan.
Sementara di satu sisi, aturan yang berlaku di Indonesia tidak memungkinkan adanya layanan aborsi aman, kecuali untuk korban perkosaan atau indikasi medis. Inilah yang juga turut menyuburkan adanya praktik aborsi tidak aman.
Lantas harus bagaimana bila terjadi KTD? Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah yang berlokasi di Jl. Jembawan no 8 Semarang menyediakan layanan konseling kehamilan tidak dikehendaki. Beberapa konselor sebaya siap untuk menjadi teman curhat, dan siap membantu bila diperlukan. Tentunya semua keputusan ada di tangan klien.**
** Elisabet S.A Widyastuti, MKes
Direktur Eksekutif Daerah PKBI Jawa Tengah