Minggu (28/7) pagi saat dingin menusuk tulang dan menembus badan sebanyak 12 relawan PKBI Jateng di bawah komando Dwi Yunanto H, SKM, menggelar aksi damai dalam rangka mengingatkan dan menolak tentang perkawinan anak.
Saat aksi berlangsung tokoh masyarakat Semarang dan sekaligus pengusana memperhatikan pesan yang disampaikan oleh relawan. Setelah paham dengan aksi tersebut; dengan suka rela menuliskan; Yang sudah siap kawin secara fisik maupun ekonomi acapkali tidak siap secara mental dan psikologis, STOP PERNIKAHAN ANAK ! demikian pesan yang dituliskan oleh Bos Marimas, Harjanto Halim pada kain putih yang digelar di aspal pada arena car free day Simpang Lima Semarang.
Aksi damai kali ini menggelar tentang Keputusan MK dalam Judicial Review Kamis 18 Juni 2015, menyatakan menolak menaikan batas usia perkawinan anak perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Sementara UU Nomor 35 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai individu yang belum berusia 18 tahun. Jika perkawinan menyebutkan usia perkawinan minimal usia 16 tahun, bisa diartikan bahwa negara melegalkan terjadinya perkawinan anak.
Penolakan kenaikan batas usia perkawinan ini yang gencar disampaikan oleh relawan di sepanjang jalan, mereka berjalan dan membagi-bagikan brosur yang berisikan informasi penolakan tersebut, sekaligus menjelaskan maksud aksi tersebut. Nina 12 tahun dan sekelompok anak yang lagi menikmati suasana pagi itu didatangi oleh relawan untuk ditanya usia berapakah sebaiknya menikah? Spontan anak-anak tersebut menjawab 20 tahun, dan disahut yang lainnya 23 tahun. Kalau menikah diusia 16 tahun boleh ga? Ga boleh! Kenapa karena masih kelas 1 SMA, jadi harus sekolah dulu. Ok kalau kalian ga setuju silahkan tulis pesan dan tandatangani di kain putih yang kakak bawa ini. Spontan mereka menulis pesan dan menandatangainya.
Di ujung jalan yang lain, relawan memberikan brosur serta berdialog tentang hal tersebut pada pengunjung CFD, pesan singkat yang disampaikan mengingatkan kepada orang tua bahwa Anak merupakan aset berharga bagi keluarga, masyarakat bahkan bangsa. Oleh sabab itu segala daya upaya untuk bisa melindungi mereka dari berbagai ancaman yang ada disekitarnya. Akan tetapi saat ini banyak anak yang berada dalam situasi yang tidak baik, bahkan mengancam keselamatan, mengancam keberlangsungan hidup dan mengancam masa depan mereka untuk menjadi manusia yang seutuhnya.
Kasus kematian Angeline di Bali, karena orang-orang dewasa disekitarnya tidak bisa melindungi dirinya. Kasus kepala sekolah yang mencabuli murid-muridnya juga terjadi. Tercatat 1479 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di Jawa Tengah, dan mayoritas korbannya adalah perempuan. 773 diantaranya adalah kasus kekerasan seksual pada anak. Di kota besar dengan berbagai kemudahan akses perlindungan seperti Semarang, 39 anak menjadi korban kekerasan seksual di tahun 2014. Menjadi kewajiban kita bersama untuk bisa melindungi anak dari tindak kekerasan, apapun bentuknya.
Fokus dan fokus untuk mengajak masyarakat menolak perkawinan anak, relawan PKBI berhasil mengumpulkan lebih dari 200 tandatangan pada selembar kain putih ukuran 3 meter yang digelar. Meskipun sebagian besar masyarakat dan relawan menjalankan ibadah puasa, namun tidak mengurangi semangat untuk tetap melindungi dan menyelamatkan anak-anak dari kekerasan dan perkawinan anak.
** (antonius juang saksono).