Sekilas Tentang UU Perkawinan

Sejak kelahirannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sarat dengan kontroversi. Tarik menarik kepentingan antara kelompok politik dan aliran serta agama mengiringi perjalanan pembentukan undang-undang itu. Meski begitu, undang-undang ini termasuk salah satu karya anak bangsa yang patut dibanggakan pada masanya. Saat itu, republik ini baru akan berbenah setelah melewati hiruk pikuk konflik politik selepas peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru. Itulah sebabnya banyak ahli dan pakar hukum menyanjung kelahiran undang-undang itu.

Sejarah sebelum terbentuknya UU Pekawinan sangatlah panjang. Dalam berbagai literatur tercatat keinginan bangsa Indonesia untuk memiliki undang-undang perkawinan sudah ada sebelum negeri ini merdeka. Konggres Perempuan Indonesia I tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta telah mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan. Namun ususl itu terhambat oleh berbagai hal.

Pada awal tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya antara lain: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan batal karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim. Rencananya rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.

Upaya berlanjut pada awal Kemerdekaan. Saat itu Pemerintah RI berusaha melakukan perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaanannya diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.

Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya.

 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin.

Pada tahun 1973 Fraksi Katolik di Parlemen menolak rancangan UU Perkawinan yang berdasarkan Islam. Konsep RUU Perkawinan khusus umat Islam yang disusun pada tahun 1967 dan rancangan 1968 yang berfungsi sebagai Rancangan Undang Undang Pokok Perkawinan yang di dalamnya mencakup materi yang diatur dalam Rancangan tahun 1967. Akhirnya Pemerintah menarik kembali kedua rancangan dan mengajukan RUU Perkawinan yang baru pada tahun 1973.

Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep RUU Perkawinan yang di setujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.

Jika membaca secara lengkap UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama dari sudut pandang Islam, undang-undang ini cukup memadai dalam hal penghormatan terhadap harkat dan martabat perempuan dalam hal perkawinan. Undang-undang ini tidak memperbolehkan poligami. Jika diperbolehkan haruslah memenuhi syarat yang cukup ketat. Kalangan ulama menegaskan, perkawinan yang ideal adalah perkawinan monogami. Kebolehan perkawinan poligami merupakan pintu ‘’darurat’’ bagi suami yang “daruri”. Oleh sebab itu, para ulama menyetujui penetapan syarat-syarat yang berat bagi laki-laki dalam berpoligami.

Perkawinan poligami yang tidak mengikuti prosedur dan tidak memenuhi syarat maka ditindak sebagai tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman paling lama 5 tahun (Pasal 279 KUH Perkawinan). Seorang pakar hukum, Prof. Soebekti, mengatakan, dalam kondisi apapun orang-orang yang pernah tunduk kepada hukum perkawinan yang menganut monogami mutlak, setelah diberlakukannya UU No: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka tidak boleh mengambil istri kedua dan seterusnya.

Perceraian juga diatur sedemikian rupa. Menurut salah seorang pakar hukum, salah satu asas UU Perkawinan adalah mempersulit perceraian dengan menetapkan syarat perceraian dengan dasar alasan-alasan tertentu dan diucapkan di depan sidang pengadilan. (Pasal 39-40 UU Perkawinan jo. Pasal 19 PP No: 9 Tahun 1975).

Jika dalam perkembangannya perlu ada revisi, tentu tak terlepas dari perkembangan masyarakat yang diatur dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Beberapa waktu lalu, Yayasan Pemantau Hak Anak, Koalisi Perempuan Indonesia, dan sejumlah pribadi yang peduli pada hak perempuan menggugat Pasal 7 Ayat 1 UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitsi (MK). Pasal ini terkait dengan usia minimum seorang perempuan boleh menikah yakni 16 tahun. MK diminta membatalkan batas usia itu dan menetapkan batas baru menjadi 18 tahun. Gugatan yang dilakukan berdasarkan berbagai pertimbangan, terutama terkait dengan risiko pernikahan usia dini yang akan dialami seorang perempuan. Kalau tidak salah, gugatan tersebut merupakan yang pertama dilakukan atas UU Perkawinan. Namun, gugatan tersebut ditolak oleh MK. Banyak kalangan yang kecewa atas penolakan tersebut.

Salah satunya adalah Peneliti Senior pada Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof Dr Muhadjir Darwin. Prof. Muhadjir menegaskan putusan MK itu mencerminkan kurangnya kepedulian terhadap masalah perempuan dan anak.

Ada MK berpendapat ditingkatnya batas usia menikah bagi perempaun tak menjamin terkuranginya angka perceraian, permasalahan kesehatan dan permasalahan social lainnya.

Jika kita batasi penilaiaan hanya pada usia saja, tanpa mengaitkannya dengan persoalan lain, kelihatan benar para pembuat undang-undang di negeri ini tak pernah seragam dalam menentukan batasan usia. Saling tabrak antar undang-undang terus terjadi. Usia 16 tahun dalam UU Perkawinan itu jelas bertabrakan dengan UU Perlindungan Anak. Juga bertabrakan dengan UU Lalu Lintas dan UU Tenaga Kerja.

Lalu bagaimana sebaiknya kita menyikapi penolakan MK terhadap gugatan tersebut? Bagaimana pula sebaiknya kita menyikapi UU Perkawinan, terutama pasal yang terkait dengan usia sah untuk menikah bagi perempuan itu? Yang pertama kita harus menghormati keputusan itu karena ia telah menjadi keputusan hukum. Yang kedua, mari meningkatkan advokasi terhadap keluarga dan perempuan itu sendiri. Apa yang dikatakan Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Wahyu Hartomo dalam wawancara Kompas, perlu agaknya diperhatikan. ‘’Tidak perlu terlalu berharap pada perubahan UU Perkawinan karena akan memakan waktu lama. Oleh sebab itu, dibutuhkan pendekatan-pendekatan alternatif untuk menghilangkan praktik perkawinan dini di masyarakat’’ katanya.

Sebenarnya, setelah ditolak di MK masih ada jalur lain yang bisa ditempuh, yakni legislative review atau proses legislasi revisi undang-undang melalui pemerintah dan DPR. Namun, proses ini butuh waktu sangat panjang. Bisa jadi, satu periode jabatan DPR saat ini tak akan rampung. Karena itu, langkah-langkah alternatif akan lebih tepat ditempuh untuk mencegah terjadinya efek buruk dari pernikahan dini. (*)

Hasan Fikri, Wakil Ketua Pengurus Daerah PKBI Jawa Tengah. Redaktur Suara Merdeka.

Sebarkan

1 komentar

Tinggalkan Komentar