Mengikis Tabu Pendidikan Seksualitas di Kota Semarang

“Kita harus bisa menjaga dan merawat alat reproduksi. Sekarang saya tahu apa yang harus dilakukan jika mengalami menstruasi atau mimpi basah,“ kata Olivia Maulana Putri malu-malu. Najma Rashika Azzahra punya pandangan serupa. Dia bilang, “Awalnya sih saya jijik dengan mata pelajaran ini. Sekarang saya lebih mengenal dan bisa merawat alat-alat reproduksi sendiri. Saya juga bisa belajar bagaimana pacaran yang sehat.”

Olivia dan Najma adalah pelajar SMP Negeri 22 Semarang, salah satu sekolah yang menjadi percontohan pembelajaran kesehatan reproduksi remaja. Sejak dicanangkan Dinas Pendidikan Kota Semarang sebagai sekolah percontohan bersama dengan SMPN 28 Semarang, SMPN 29 Semarang, dan MTSN 1 Semarang pada Agustus 2018 lalu, siswa-siswa di sekolah ini mendapatkan mata pelajaran kesehatan reproduksi paling tidak sekali seminggu.

Program sekolah percontohan ini digagas dan dikembangkan bersama antara PKBI Jawa Tengah dan Dinas Pendidikan Kota Semarang. Dengan menggunakan materi dan metode belajar yang mereka sebut sebagai Modul SETARA (Semangat Dunia Remaja), siswa diajak mempelajari hak-hak tentang kesehatan reproduksi, mengenal dan memahami organorgan reproduksi, cara-cara mengambil keputusan dan langkah-langkah yang tepat untuk menghindari kehamilan tak diinginkan, hingga serba-serbi perkawinan anak dan penyakit infeksi menular seksual.

Pada minggu-minggu pertama ujicoba mata pelajaran ini, tak hanya siswa saja yang ragu, tetapi juga para guru. Sawukir dan Anita, kepala sekolah dan guru SMP N 22 Semarang misalnya, sempat canggung dan gamang karena harus menyampaikan materi yang mereka anggap sensitif. “Ada juga rasa khawatir pelajaran ini akan disalahgunakan anakanak sehingga menjadi bumerang dan berdampak negatif, “ tutur Norma, guru MTSN 1 Semarang. Keraguan ini barangkali menggambarkan betapa membicarakan kesehatan seksual dan reproduksi masih dianggap tabu.

Potensi Masalah Remaja Kota Semarang

Kota Semarang memang sarat dengan penduduk usia muda. Terdapat 426.228 penduduk berusia 10-24 tahun atau sebesar 27 persen dari total penduduk sebanyak 1.555.984 jiwa. Jumlah ini lebih tinggi dari angka rata-rata nasional penduduk berusia 10-24 tahun yang hanya berjumlah 16,1 persen.

Jumlah sebesar itu mengandung potensi masalah yang besar juga. Apa itu? Survei PKBI terhadap 2.843 siswa SMA di Kabupaten dan Kota Semarang sebagaimana pernah diberitakan sebuah koran pada 10 November 2016, menemukan fakta mencengangkan. Ditemukan sebanyak 2,2 persen siswa pernah melakukan hubungan seksual dan 40 persen mengaku sudah pacaran sejak usia 10-15 tahun. Di antara mereka yang sudah pacaran, 11,2 persen mengaku pernah memegang organ reproduksi pasangannya, dan 2,4 persen pernah menggesekkan alat reproduksi kepada pasangannya.

Sementara itu, Elisabeth Widiyastuti, Direktur PKBI Jawa Tengah, menyebut hingga Maret 2016, tercatat sebanyak 13.547 kasus HIV dan 5.049 AIDS, dan 9,5 persen penderita AIDS adalah mereka yang berusia remaja. Ada 80 kasus kehamilan tak diinginkan, dan 50 diantaranya dialami remaja usia 13-18 tahun. Seluruh data dan temuan tersebut memberi sinyal tingginya peluang munculnya masalah-masalah lanjutan, mulai dari pergaulan bebas, kehamilan tak diinginkan dan perilaku seksual yang menyimpang di kalangan remaja Semarang.

Tetapi pemahaman remaja tentang kesehatan seksual dan reproduksi justru berbanding terbalik. Kajian Pusat Kesehatan Reproduksi Fakultas Kedokteran UGM yang dilakukan pada 2018 terhadap 1517 siswa SMP di Semarang menemukan hanya 25 persen remaja yang 34 mempunyai pengetahuan cukup baik tentang kesehatan reproduksi. Sebanyak 77, 1 persen dari mereka tidak paham, misalnya bahwa HIV dapat menular saat pertama kali melakukan hubungan seks. Selain itu 55,6 persen remaja tidak tahu bahwa perempuan bisa hamil ketika pertama kali melakukan hubungan seks dan hanya 12,8 remaja yang tahu dimana mereka bisa mendapatkan alat kontrasepsi.

Ujicoba Pembelajaran Kesehatan Reproduksi

Potensi masalah yang besar dan mendalam itulah yang mendorong PKBI Jawa Tengah membantu melakukan pencegahan dini dengan cara membangun kesadaran remaja terhadap kesehatan seksual dan reproduksi. PKBI langsung membidik ke jantung masalah dengan melakukan penyadaran di sekolah-sekolah menengah pertama di Kota Semarang.

Lahirlah kemudian gagasan program untuk memasukkan pelajaran kesehatan reproduksi dalam proses belajar mengajar di kelas. Tiga sekolah di pilih yakni SMP 22 Semarang, SMP 28 Semarang, dan MTS N 1 Semarang sebagai ujicoba. Pada awal program gagasan ini tak bergulir mulus. PKBI harus meyakinkan banyak pihak untuk memulai program ini. Sukses meyakinkan tiga kepala sekolah tidaklah cukup. PKBI harus menggalang dukungan guru, sebab mereka yang bakal menjadi ujung tombak pembelajaran dan penyampai materi kesehatan reproduksi di dalam kelas.

Di sini tarik ulur mulai terjadi. Ada banyak keraguan muncul dari kalangan guru, terutama kekhawatiran materi ini akan disalahpahami siswa. Baru setelah PKBI mengadakan serial Pelatihan Penggunaan Modul SETARA, guru mulai menerima gagasan ini dan menyepakati materi kesehatan reproduksi diintegrasikan ke dalam mata pelajaran Bimbingan dan Konseling. Maka, pada November 2016, perjanjian kerjasama ujicoba pendidikan kesehatan reproduksi di tiga sekolah itu ditandatangani.

Membangun Kolaborasi Pemerintah Kota

Di tengah jalan, PKBI merasa perlu menggalang dukungan pemerintah kota. Dukungan ini diyakini akan membuat proses internalisasi mata pelajaran kesehatan ke dalam proses pembelajaran di sekolah lebih lancar. Satu kali audiensi dengan Ir. Hj. Hevearita Gunaryanti Rahayu, Wakil Wali Kota Semarang belum membuahkan hasil. Upaya untuk meyakinkan pemerintah kota juga dilakukan dengan cara menggelar rupa-rupa kegiatan kampanye dan advokasi, antara lain pameran karya hasil pembelajaran SETARA.

Di tengah jalan buntu itu, PKBI menemukan celah untuk meyakinkan pemerintah kota. Celah itu adalah Peraturan Walikota Semarang No 20 tahun 2010 tentang Kota Layak Anak. Kebijakan ini mengharuskan pemerintah kota melakukan pengarusutamaan hak-hak, kesejahteraan dan perlindungan anak antara lain dengan menyediakan sekolah ramah anak dan informasi kesehatan reproduksi yang memadai bagi mereka. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh PKBI untuk mendesak pemerintah kota menandatangani perjanjian kerjasama penyelenggaraan pendidikan kesehatan reproduksi yang sudah diinisiasi sejak lama. Dalam pandangan PKBI pendidikan kesehatan reproduksi adalah prasyarat jika Semarang benar-benar serius menjadi kota ramah anak.

Setuju dengan argumen PKBI, barangkali karena proses ujicoba pendidikan kesehatan reproduksi juga sudah berlangsung, Pemerintah Kota Semarang dan PKBI Jawa Tengah bersedia menandatangani Surat Kesepahaman Bersama No. 019.6/72/2018 dan Nomor: 022/K-PD/PKBI/V/2018 tentang Pelaksanaan Program Kesehatan Reproduksi dan Seksual serta Perlindungan Anak di Kota Semarang.

Tak butuh waktu lama, Dinas Pendidikan Kota Semarang menyusul dengan kesediaan menandatangani Surat Perjanjian Kerja Sama antara Dinas Pendidikan Kota Semarang dengan PKBI Jawa Tengah No. 420/6421 dan No. 181A/AK1/PKBI/VII/2018 tentang Pelaksanaan Program Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual di Sekolah Lingkungan Dinas Pendidikan Kota Semarang. Bahkan Gunawan Saptogiri, Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang bersedia melakukan pencanangan resmi sekolah percontohan kesehatan reproduksi pada Agustus 2018.

Memperluas Dukungan, Menjaga Keberlanjutan

Pendidikan kesehatan reproduksi melewati jalan yang panjang sebelum menemukan bentuknya yang relatif mapan seperti sekarang. Hari-hari ini, proses pembelajaran di tiga sekolah itu terus berlangsung. Modul SETARA telah mengilhami banyak guru untuk berinisiatif mengembangkan metode-metode pembelajaran yang lebih menyenangkan di dalam kelas. Apa yang dikhawatirkan oleh guru-guru di awal ujicoba tidak terjadi. Sekolah percontohan ini telah melahirkan banyak remaja seperti Olivia dan Najma yang lebih sadar dan mampu menjaga kesehatan reproduksi mereka.

Kerja Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja di Puskesmas kini jauh lebih cepat dan ringan. “Jarang ada anak yang mau mengakses layanan Puskesmas. Jika menghadapi masalah kesehatan reproduksi, anak-anak kini lebih terbuka bercerita kepada saya. Jadi guru Bimbingan dan Konseling tinggal merujuk dan menemani mereka ke Puskesmas,“ jelas Anita, salah seorang guru di SMP N 22 Semarang.

Dukungan nyata pemerintah kota telah membuat komitmen sekolah percontohan bertambah kuat. Sawukir menuturkan, “Memahami kesehatan reproduksi adalah hak anak. Hasil baik yang dicapai dalam ujicoba membuat kami yakin pendidikan kesehatan reproduksi dapat membekali siswa untuk mampu menghindari resiko-risiko seperti kenakalan remaja, kekerasan maupun kehamilan yang tidak diinginkan.”

SMP N 22 Semarang kini menjadi sumber belajar bagi para pegiat pendidikan kesehatan reproduksi dari Nusa Tenggara Timur, Lampung, dan Jakarta. PKBI Jateng bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada Jogyakarta dan Johns Hopkins University tengah melakukan penelitian jangka panjang di tiga sekolah. Sebuah model pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak usia 10-15 tahun diharapkan bisa lahir dari penelitian ini.

36 Dinas Pendidikan Kota Semarang tengah mengusahakan perluasan implementasi Modul SETARA di sembilan sekolah. Untuk menangani kasus yang mungkin muncul di sekolah percontohan, Hendrar Prihadi, Walikota Semarang mengantisipasinya dengan merancang layanan kesehatan reproduksi dan seksual ramah remaja melalui Unit Kesehatan Sekolah dan Palang Merah Remaja.

Penulis: Rosta Rosalina, Community Organizer PILAR PKBI Jawa Tengah

Sumber: Aliansi Satu Visi. 2019. PEJUANG PERUBAHAN: Kumpulan Praktik Baik untuk Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi di Indonesia. Aliansi Satu Visi. Jakarta.

Sebarkan

Tinggalkan komentar