Pola Komunikasi Orang Tua – Anak Pada Masa Krisis

Pendekatan paling cocok, selain memberi contoh juga perlu meningkatkan komunikasi dua arah antara orang tua dan anak (khususnya remaja). Komunikasi akan tersumbat, bilamana dilakukan satu arah sehingga bersifat instuktif, otoriter, dominan, dan represif. Orang tua yang represif akan memiliki anak dengan sikap – sikap yang negatif misalnya : anak tidak inovatif, tidak mandiri (ragu–ragu, takut), introvert, apatis, sifat-sifat tersebut tentunya tidak mendukung untuk bersosialisasi dengan lingkungannya bahkan sangat berpengaruh bilamana anak tersebut kalak menjadi dewasa dan terjun di masyarakat. Tanpa adanya komunikasi yang baik, remaja lebih berkiblat keluar dari lingkungan keluarga. Dia akan mencari “sesuatu” di luar rumah, yang seharusnya diperoleh dari keluarganya sendiri yakni kehangatan dan pengertian. Keadaan sudah menjadi gawat kalau begini ! Kunci utama untuk mengikat remaja agar betah dirumah adalah keharmonisan antara ayah – ibu – anak, yang saya sebut dengan “komunikasi segitiga emas”.

Wibawa seorang ayah harus nampak secara tegas, sedangkan kasih sayang ibu harus dapat diresapi oleh setiap anak, kalau dua unsur tersebut sudah menyatu (integrasi) anak akan selalu membutuhkan bimbingan, nasihat, tuntunan dari orang tuanya sampai kapanpun.

Anak akan selalu merasa terlindungi, sebab ada yang menampung segala suka dukanya, atau keresahan hatinya yang tidak mungkin ditujukan pada orang lain, orang tua adalah tempat “curhat” yang paling ideal.

Dia merasa ada kehangatan, ketentraman serta kesejukan didalam rumah, yang tidak dapat ditukar dengan suasana lain diluar ruamah.

Sekalipun mungkin keadaan diluar jauh lebih gemerlap dibandingkan suasana rumah yang sederhana tapi nyaman (Home Sweet Home).

Jika bapak dan ibu mampu menciptakan lingkungan seperti itu, maka anda adalah orang tua yang SUKSES !

Di kota-kota besar ada indikasi bahwa sebagai akibat dari laju pembangunan yang cepat, mesyarakat menjadi sangat individualistis, materialistis, dan pragmatis sehingga kehidupan keluarga cenderung terabaikan.

Para bapak sibuk mengejar harta dengan alasan memenuhi kesejahteraan keluarga, sementara ibu aktif berorganisasi demi jabatan suami.

Akibatnya komunikasi segitiga emas tersebut nyaris tidak pernah terwujud. Keadaan semacam itu terjadi di lapisan menengah keatas, yang lebih menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan fisik daripada kejiwaan. Tetapi dengan datangnya gelombang berbagai krisis ekonomi sosial politik, semua lapisan terkena dampak negatifnya. Krisis moneter mendorong semua oarang utntuk bertahan agar tetap hidup, yaitu bisa makan tiga kali sehari dan pendidikan anak-anak tidak putus ditengah jalan. Dalam situasi kelabu seperti ini, masih mampu kah kita berkomunikasi didalam keluarga secara baik dan normal ?

Jawabanya memang tidak sederhana, terutama antara teori dan kenyataan sering berbenturan sehingga perlu diupayakan cara yang sebaik-baiknya. Tidak hanya mudah diucapkan , tetapi juga mudah dilaksanakan oleh siapa saja. Memasuki dunia global, memerlukan bekal yang cukup apalagi dimasa depan tantangan maupun persaingan sangat ketat. Kondisi semacam itulah yang akan dihadapi oleh anak-anak kita, mereka tidak akan dapat menghindar. Sebagai orang tua, kita wajib mengantisipasinya secara cepat, tepat, serta penuh kearifan.

Anak-anak yang siap menghadapi era persaingan dan multikrisis adalah mereka yang beriman, taqwa, disiplin, bertanggung jawab, mandiri, dan punya kepekaan yang tinggi.

Untuk itu dalam mempersiapkan anak, diperklukan seperangkat sikap, antara lain :

  1. Khawatir, orang tua perlu memiliki rasa khawatir akan kesejahteraan dan keamanan anak-anaknya misalkan penculikan, pembunuhan, pengaruh kelompok radikal dan fundamentalis.
  2. Hati-hati, sebab istri dan anak suatu saat bisa menjadi “musuh” yang harus dihadapi dengan kesabaran dan legawa(bahasa jawa). Dalam hal ini orang tua di tuntut bersikap baik dan pema’af pada anak-anaknya, agar komunikasi terjalin dengan baik.
  3. Ikhsan, yaitu sikap yang lembut penuh sayang, memperhatikan hak dan aspirasi anak, tidak menjadikan anak sebagai obyek ambisi orang tuanya.
  4. Memuliakan anak, karena anak adalah amanah Allah yang patut disayang, diasuh dan dididik.
  5. Adil, terhadap semua anak, kami kutipkan disini apa yang dikatakan Ibnu Hajar : “Sesungguhnya Allah suka agar kamu bersikap adil terhadap anak-anakmu dalam hal kecup cium juga”.
  6. Teladan, keteladanan orang tua akan diwarisi oleh anknya.

Kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa ikatan batin atar anggota keluarga yang menimbulkan suasana saling mengasihi dan bersatu apabila mengalami suka maupun duka, merupakan syarat utama bagi terciptanya keluarga bahagia sejahtera.

Kesemuanya itu kelak akan dapat mengatasi gangguan serta berbagai macam krisis, yang mungkin datang sewaktu-waktu.

(Dra. Oerip Lestari DS, M.Si)

Sebarkan

Tinggalkan Komentar