PKBI Mengurai Pergulatan Pernikahan Dini di Jateng

Ungaran (7/5) Seks pertama yang sulit perempuan, Seks kedua yang susah lakinya, karena keburu kabur!, ini adalah pernyataan yang menggelitik dari hasil penelitian yang disampaikah oleh drg. Zahroh Shaluhiyyah, MPD, PhD pada Seminar Nasional dengan tema “Kesehatan Masyarakat Menuju Generasi Emas yang diselenggarakan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ngudi Waluyo Ungaran. Bertempat di Aula lantai 2 Gedung D. Seminar yang dihadiri 229 peserta dosen dan mahasiswa Program Studi Keperawatan, Kebidanan dan Kesehatan Masyarakat kali ini menghadirkan 3 pembicara inti dan satu pembicara tambahan antara lain Auly Tarmali, SKM, M.Kes; drg. Zahroh Shaluhiyyah, MPD, PhD; Elisabet SA. Widyastuti dan Puta Aryatama.

Pada pembukaan acara tersebut Rektor Universitas Ngudi Waluyo. Prof. Dr. Subiyantoro, M.Hum. menyampaikan harapannya bahwa seminar nasional ini akan menghasilkan rekomendasi yang dapat membantu pemerintah dalam menangani fenomena pernikahan dini yang terjadi di masyarakat. Pada tahun 2020-2030 Indonesia akan mengalami bonus demografi, selain itu persoalan yang menggelobal, generasi muda dihadapkan pada tantangan pada masa depan yang berat, sehingga informasi konsep sehat reproduksi menjadi penting. Program generasi berencana, Pelayanan Informasi Kesehatan (PIK) yang terkait dengan kesehatan reproduksi dan upaya-upaya yang telah digulirkan mendorong generasi muda terhindar dari pernikahan dini.

Sementara itu Direktur Eksekutif PKBI Jateng, Elisabet memaparkan bahwa Indonesia merupakan  salah satu dari 10 negara di dunia dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi, di kawasan Asean menempati urutan kedua setelah Kamboja; diperkirakan 1 dari 5 anak perempuan Indonesia menikah sebelum 18 tahun. Dampak dari perkawinan anak pada usia kurang dari 20 tahun, sekitar 10,3% akan menyebabkan kematian pada ibu secara tidak langsung. Hal ini dipicu oleh ketidaksiapan dan resiko kehamilan yang mencapai 5-7 kali lipat. Selain itu terputusnya kesempatan untuk meraih pendidikan yang layak dan siap kerja menjadi lenyap. Perkawinan anak menyebabkan putus sekolah mencapai 67,27 %, dengan demikian generasi perkawinan anak memunculkan permasalahan ekonomi dan rentan terhadap perceraian dan tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Studi Baseline; Analisis Situasi Pernikahan Dini, Kehamilan Remaja di Kabupaten Rembang yang dilakukan oleh Credos Institute 2017; dan PKBI Jateng menjadi bagian dari studi tersebut mewawancara 226 remaja 12-24 tahun, orang tua dan pemangku kebijakan terkait, pada wilayah intervensi di 4 desa di Kecamatan Kranggan dan Sedan yaitu Desa Woro, Sendang Mulyo, Mojosari dan Menoro, menghasilkan pemahanan yang cukup mengejutkan berkaitan dengan perkawinan anak. Anak merupakan bagian dari investasi keluarga, semakin sering menikahkan anak maka orang tua akan menerima mahar dari mempelai laki-laki makin banyak. Selain itu pendidikan pada anak perempuan dianggap tidak penting dibandingkan anak laki-laki, karena anak perempuan dianggap peranannya terbatas pada urusan rumah tangga. Oleh sebab itu orang tua mempunyai pengaruh besar terhadap anak perempuan, yang memungkinkan anak perempuan terbelenggu. Dari hasil studi terssebut ternyata anak perempuan 36 kali lebih berisiko menikah dini dibandingkan anak laki-laki, hal ini yang menyebabkan anak perempuan tingkat pendidikannya lebih rendah. Selain itu anak perempuan yang ibunya pendidikannya rendah akan menjadi pola dalam keluarga yang memicu pernikahan dini.

Pada sesi tanya-jawab peserta menanyakan apa peranan PKBI Jateng melihat fenomena yang terjadi pada anak dan remaja saat ini? Elisabet menjawab dengan memberikan gambaran utuh apa yang harus dilakukan oleh kita ketika, konstruksi sosial yang ada dimasyarakat memungkinkan perkawinan dini tetap tumbuh; Perkawinan anak salahsatunya dipicu oleh kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Untuk itu diperlukan sinergi bagi pemanggu kepentingan dan kita sebagai tenaga kesehatan ada didalamnya. Tentu banyak hal yang bisa kita lakukan; siswa perlu diedukasi ketika Puskesmas tidak bisa memberikan layanan KB bagi remaja pelaku seks aktif; maka berikanlah hatimu dan rekomendasikan pada lembaga-lembaga lain yang peduli terhadap remaja, agar kebiasaan seks aktif yang akan berakibat KTD dapat dicegah. PKBI Jateng melalui Pusat Informasi dan Layanan Remaja (Pilar) mendampingi remaja yang mempunyai masalah tersebut; Bahkan ada keluarga yang orangtuanya berpendidikan tinggi kaget ketika anaknya yang SMP hamil; Nah bagaimana ini dibantu untuk mengatasi permasalahan yang dialami oleh keluarga tersebut?; Sebagai tenaga kesehatan kita tentu mempunyai nilai-nilai (velue) yang perlu dikembangkan menghadapi fenomena seperti itu. Lalu kita mau bersikap seperti apa? Tentu kita tidak tinggal diam, nurani kita tergelitik, dan peran apa yang akan diimplenetasikan; silahkan dijawab sendiri melihat persoalan yang ada di masyarakat. *** (antonius jhe saksono)

Sebarkan

Tinggalkan Komentar